Menua Di Masjid

menara masjid Namira

Rasanya hitungan hari dalam seminggu itu begitu pendek. Ketika duduk di deretan shof jamaah salat Jumat, aku seperti menikmati rekaman ulang. Duduk di tempat yang sama dan menyaksikan orang – orang yang sama datang ke masjid. Kebiasaan orang – orang itu yang membuat suasana saat itu seperti jumat – jumat sebelumnya.

Hanya saja, ada beberapa hal yang berbeda. Salah satunya, Imam masjid yang dulu tampak begitu karismatik dengan langkah energiknya menyalami jamaah yang beriringan menuju masjid, kini datang dengan tertatih-tatih.

Banyak hal telah kusaksikan dari setiap putaran hari jumat yang kulalui. Setiap putaran, menjadi nasehat terbaik bahwa sebenarnya hidup ini hanya hanyalah kumpulan waktu. Setiap satu putaran berganti sesungguhnya berarti kehilangan satu hari. Entah sampai hitungan putaran yang berapa, ditakdirkan ‘waktu’ akan berhenti dan semua berakhir, terdiam, membisu.

Bersyukur aku masih bersama kumpulan orang – orang di jalan Allah. Dengan kaki- kaki mereka yang tak lelah apalagi bosan menyusuri jalan yang sama. Menyambangi gemericik air untuk dibasuhkan ke wajah, telinga, tangan, ujung rambut hingga kek kaki dalam wudhu. Lalu bersimpuh di sajadah lusuh yang selalu terbentang. Menghadap Allah dalam sujud. Mereka yang berwajah teduh bercahayakan istiqomah menjaga setiap perintahNya.

Takjub sekaligus merinding aku dalam de javu. Menghitung semua yang telah berlalu. Mereka semua menua, begitupun aku. Ketakutan menyeruak. Pada yang tak bisa ditolak. Pada yang semua akan merasakannya. Pada tenaga yang mulai melemah, penyakit yang tak memberi kabar, dan keriput dalam setiap jengkal tubuh.

Rasanya, apalagi yang mesti dicari, ketika dunia telah diupayakan. Untuk dunia, tak pernah mengenal garis finish, tak ada kata puas. Tapi ketika teduduk dalam syahdu kumandang adzan, rasanya semua itu begitu semu. Tubuh ini memang tubuh yang dulu, namun tidaklah sama. Apakah akan selamanya tubuh ini terperdaya dunia?  Sementara dalam tarikan nafas jatah usia berkurang?

Di masjid yang selalu sama kutemukan jawaban. Bahwa apapun yang telah kita perbuat di dunia ini, ujungnya selalu sama. Menua dan tiada. Dan pada garis itu ukuran sukses bukan lagi dari harta benda. Namun pada amal buah keimanan yang hakiki.

Menua di masjid. Sepertinya sebuah cita – cita yang belum aku masukkan dalam daftar cita – citaku. Ya Allah, ijinkan aku selalu merindukan rumahmu ini. Jika pada kumpulan waktu yang telah engkau jatahkan, jadikan sujudku menjadi hitungan terakhir bagi amal – amalku.

Sumber : Majalah Hadila | Edisi 87 | September 2014